Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membaca Adalah Petualangan Mencari Harta Karun

Membaca buku, kaca mata, manfaat membaca buku
gambar: pixabay.com



Entah, sudah kali ke berapa saya mendapati pertanyaan dari beberapa kawan tentang aktivitas membaca. Aktivitas yang menurut sebagian besar orang sangat membosankan. Bagaimana tidak, aktivitas yang satu ini menuntut kita untuk berkonsentrasi penuh dalam melaksanakannya. Tidak bisa dilakukan sambil ngobrol, tidak bisa sambil main game, tidak bisa berada dalam kebisingan, bahkan ada tipe-tipe pembaca yang tidak bisa khusuk membaca meski hanya sambil mendengarkan musik.

Ketika saya duduk dan mulai membuka halaman-halaman pada buku yang saya baca, tidak sedikit yang bertanya: “Apa sih manfaat kamu membaca buku?”. Saat mendapat pertanyaan seperti itu, saya lebih sering menjawab sekenanya saja, biasanya saya menjawab: “Ya, paling tidak saya tahu isinya.” 

Tidak etis rasanya jika saya harus menjawab dengan serius, karena saya yakin dia bertanya juga tidak begitu serius. Jika saya menjawab: “Tujuan membaca itu supaya pikiran kita bisa terbuka dengan mengetahui banyak hal. Wawasan kita semakin luas. Dan, kita bisa menambah ilmu, sebab buku adalah jendela dunia.” tentu saja, saya akan terkesan teoritis dan beretorika. Bahkan, jika yang saya ajak bicara adalah anak-anak tongkrongan, besar kemungkinan hanya akan membuat mereka merasa geli mendengar jawaban saya.

Saya sendiri tidak tahu sejak kapan saya mulai suka dengan dunia membaca. Dunia yang hanya bisa dilakukan oleh sebagian kecil orang. Hanya orang-orang tangguh yang sanggup menjalani dunia penuh kesunyian dan kesepian itu. Demikian kata salah seorang penyair kenamaan Indonesia, Joko Pinurbo.

Sejauh yang bisa saya ingat, sewaktu kecil saya hanya gemar membaca buku-buku komik tipis yang dijual di sekitar sekolah, kemudian membaca buku yang agak tebal bercerita tentang “Siksa Neraka.” Mungkin Anda juga pernah membacanya, bukan? Di bangku Sekolah Menengah Atas-lah, kemungkinan saya mulai tertarik membaca buku-buku yang agak serius, seperti novel, sejarah, dsb, yang kemudian semakin menjadi-jadi saat saya duduk di bangku kuliah. Ya ... meskipun saya tidak tekun-tekun amat dalam membaca.

Meskipun saya sudah mengenal teknik membaca cepat (scanning) sejak duduk di bangku sekolah. Tapi, saya tetap belum bisa sepenuhnya mempraktikannya dalam kegiatan membaca. Seringkali saya masih merasa kagum dengan seseorang yang sanggup membaca buku secepat kilat. Semalam satu buku, misalnya. Pertanyaan yang selalu hinggap di benak saya adalah “Bagaimana cara dia memahami isi buku tersebut?” Naif sekali bukan pertanyaan itu? Sementara saya, harus menghabiskan waktu beberapa hari untuk mengkhatamkan satu buku saja, sehingga buku yang duduk di rak buku saya juga tidak banyak-banyak amat.

Bagi saya membaca itu seperti aktivitas berpetualang. Di mana si penulis mengajak saya berkelana untuk mencari sebuah harta karun. Hal itu membuat saya lebih sering menikmati rute perjalanan dalam buku yang tengah saya baca ketimbang berambisi menebak akhir ceritanya. Menikmati halaman demi halaman. Dan, sesekali saya harus siap untuk merenung karena merasa tersesat pada salah satu buah pikiran si penulis. Ya, kita memang harus siap diajak merenung atas apa yang kita baca.

Seperti yang saya katakan di atas, membaca itu ibarat petualangan mencari sebuah harta karun, dan buku adalah petanya. Dalam perjalanan membaca sebuah buku, saya kerap menemukan beberapa percikan pikiran si penulis yang terkadang mengganggu sekaligus menyegarkan pikiran saya. Misalnya, tentang pemahaman lama sebagian besar orang tentang nama-nama perempuan di zaman kenabian yang memiliki nama depan “Siti.” Seperti Siti Aminah (ibunda Nabi Muhammad), Siti Fatimah (putri Nabi Muhammad), Siti Hawa (perempuan pertama), Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim), dan beberapa nama lainnya yang sering disebut-sebut dalam pendidikan agama di langgar-langgar pedesaan atau di beberapa pesantren. 

Dalam sebuah artikel yang saya baca, saya menemukan kelakar dari penulisnya bahwa, “Sejak kapan orang Arab bernama Siti?” Kemudian saya sendiri juga bertanya-tanya, “Oh iya, sejak kapan ya?” Ternyata nama “Siti” dalam bahasa Jawa Halus (diadopsi dari bahasa Sansekerta) memiliki arti "Bumi". Orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan merasa tidak etis jika langsung menyebut nama Aminah, Fatimah, Hawa, Hajar, dsb, sehingga sebagai bentuk penghormatan kepada kaum perempuan, mereka memberikan imbuhan nama “Siti” sebagai nama depannya.

Kemudian, dari sebuah buku pula saya seringkali menemukan kutipan yang sebenarnya mengganggu tatanan pemahaman lama saya. Walhasil, saya harus menata ulangnya kembali. Misalnya, tentang kisah penyembelihan Isaac oleh ayahandanya sendiri, yakni Abraham. Di mana Abraham mendapat perintah dari Tuhannya melalui isyarat mimpinya untuk menyembelih anaknya, padahal ia sangat mendambakan kehadiran anaknya tersebut. 

Meskipun kita sama-sama tahu bahwa pada akhirnya Abraham tidak jadi menyembelih anaknya, karena Tuhan telah menggantinya dengan seekor domba. Namun, jika peristiwa penyembelihan itu benar-benar terjadi, sudah tentu kita akan dihadapkan pada problem teologis dan etik. Kita tidak akan bisa memberikan batasan tentang di mana letak kita menyebut Abraham sebagai pembunuh (problem etik) dan seorang hamba yang taat (ekspresi kepatuhan religius?).

Pertistiwa itu hanya terjadi sekali sepanjang masa, karena jika itu terjadi di zaman kita, ada orang yang merasa memperoleh perintah dari Tuhan untuk menyembelih keluarganya? Tetangganya? Sahabatnya? Atau sesama manusia lain? Bahkan meskipun itu bertentangan dengan nilai etik sesama manusia. Apakah ada jaminan Tuhan akan menggantinya dengan seekor domba? Dan, sungguh Tuhan Yang Maha Baik tidak membiarkan kita untuk memikirkan hal seberat itu.

Selain itu, saya juga sering mendapat berbagai cakrawala baru dari buku yang saya baca. Sex Education, misalnya. Di mana selama dua belas tahun menduduki bangku sekolah, saya tidak benar-benar mendapatkan materi itu secara gamblang, sebab materi tentang seksualitas masih dianggap terlalu tabu untuk diajarkan di bangku sekolah. Sementara di luar ruang kelas, banyak buku fiksi yang di dalamnya menceritakan tentang hal itu. Ketika dua orang manusia, berbeda jenis, berduaan dalam satu ruang, kemudian saling memberikan rangsangan satu sama lain. Si laki-laki mulai memberikan sentuhan kepada perempuan, dan si perempuan memberikan respons kepada si lelaki, hingga mereka saling bermesraan, saling mencumbu satu sama lain. Kedua bibir mulai merekah, keempat mata mulai merem-melek terbawa arus suasana, dan dunia seolah menjadi milik mereka berdua.

Cerita-cerita semacam itu tidak banyak ditemui (bahkan tidak ada?) di bangku sekolah. Saya pun mengira 80% anak-anak mempelajari materi tentang seks di luar ruang kelas. Entah itu dari internet ataupun dari buku-buku bacaan. Pun hingga saat ini ranah seksualitas masih menjadi hal-ihwal yang kurang etis untuk dibicarakan secara terbuka bagi sebagian besar orang timur. Mereka menganggap bahwa seks adalah ilmu yang meskipun tanpa diajarkan tetap bisa dipahami dan dipraktikan. Minimnya pendidikan seksualitas adalah pemicu terjadinya tindak pemerkosaan, hamil di luar nikah, dan pergaulan bebas di kalangan anak-anak muda. Sebab, anak-anak tidak mendapatkan pendidikan seksualitas secara baik dan benar yang membuat mereka tidak tahu batasan dan cenderung melakukan pelampiasan.

Dalam salah satu apresiasi puisi karya Joko Pinurbo berjudul “Celana, 2.” Herman J. Waluyo juga menyampaikan bahwa Joko Pinurbo secara tersirat sedang mengkritik pendidikan di negeri ini yang kurang memperhatikan pendidikan seksualitas. Di mana dalam puisi tersebut, Joko Pinurbo (Jokpin) sedang memainkan kata “Celana” dan apa yang tersimpan di dalamnya, yaitu alat kelamin (baik laki-laki maupun perempuan). 

Seperti yang saya katakan di atas, di mana selama dua belas tahun menduduki bangku sekolah, saya tidak benar-benar mendapatkan materi itu secara gamblang, sebab materi tentang seksualitas masih dianggap terlalu tabu untuk diajarkan di bangku sekolah. Akibatnya, saya tidak mendapatkan materi tentang seluk-beluk yang ada di dalam celana secara jelas dan mencerahkan.

Sejauh ini yang kita terangkan kepada anak-anak hanya sebatas apa yang terlihat di luar (celana), namun bukan pendidikan seksualitas yang sebenarnya (di dalam celana). Jokpin menggambarkannya dengan larik “ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana / yang bagus dan sopan, tapi tidak pernah diajar melukis / seluk-beluk yang ada di dalam celana.” Akibatnya pendidikan yang tidak berterus terang itu, anak-anak menyalurkan rasa ingin tahu mereka dengan adanya larik “kami suka usil dan sembunyi-sembunyi / membuat coretan dan gambar porno di tembok / kamar mandi, sehingga kami pun terbiasa menjadi / orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri.”

Kira-kira demikian kutipan penjelasan yang saya peroleh dari rahim buku berjudul “Bermain Kata Beribadah Puisi” karya Joko Pinurbo. Selengkapnya sila baca lebih lanjut dalam bukunya. Tapi jangan beli yang bajakan ya, nggak baik itu.

Membaca adalah petualangan mencari harta karun. Sebagaimana proses mencari harta karun, dalam sebuah buku menyimpan sebuah harta yang menarik untuk ditemukan. Dalam perjalanan untuk mencapai halaman terakhir sebuah buku, saya kerap menemukan banyak kepingan-kepingan harta karun di tengah atau di tepian jalannya. Harta karun itu adalah pengetahuan. 

Hingga saya tiba pada tanda silang (X) yang berarti di bawahnya terkubur peti harta karun, membuat saya ingin segera menggalinya dan mengambil peti harta tersebut. Tapi, saya selalu merasa bahwa ternyata saya masih belum tahu apa-apa. Masih harus banyak-banyak belajar. Akhirnya, saya mengurungkan niat untuk menggali tanda (X) tersebut.

Pada dasarnya saya ingin sekali membaca buku-buku karya pemikir-pemikir muslim. Tetapi karena kebanyakan karya mereka tertuang dalam sebuah kitab berbahasa Arab yang sarat akan nilai-nilai sastrawi, sementara kemampuan saya sangat terbatas dalam membaca kitab berbahasa Arab. Apa boleh buat, saya akhirnya memilih untuk membaca buku-buku terjemahan dan buku-buku umum lainnya yang pengarangnya bukan dari para pemikir muslim terdahulu. Namun, ternyata dalam tulisan-tulisannya, mereka banyak mengadopsi buah pikiran dari para pemikir muslim terdahulu.

AE, 08 September 2020.

Post a Comment for " Membaca Adalah Petualangan Mencari Harta Karun"