Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Di Balik Lahirnya Sebuah Puisi

Sumber: Google Search


Seringkali kita mendengar celetukan dari seseorang tentang keberadaan puisi yang dianggap sebagai sebuah aktivitas tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Heuheu. Aktivitas menulis puisi seringkali dianggap sebagai simbol rapuhnya hati seseorang bahkan lebih kacaunya orang yang gemar menulis puisi dikatakan lebay atau bucin (budak cinta). Hmmm... Apalagi jika yang gemar menulis puisi adalah seorang laki-laki, rasanya umpatan-umpatan demikian menjadi perihal yang sering menimpa mereka.


Saya seorang laki-laki dan saya gemar menulis puisi. Dan, di kesempatan ini saya ingin memberikan beberapa alasan mengapa seseorang bisa gemar menulis puisi atau merangkai kata-kata biasa menjadi larik-larik kalimat yang indah dan enak untuk dibaca.

Saya merupakan salah satu orang yang menyangkal stigma bahwa menulis puisi adalah kegiatan yang tidak berfaedah atau kegiatan cuma-cuma. Jika ada seseorang yang suka berpuisi dikatakan sedang tegila-gila oleh cintanya, mungkin memang iya. Entah kepada siapa cinta itu ditujukan. Kepada sesama manusia, kepada sesama ciptaan Tuhan, atau kepada Tuhan Seru Sekalian Alam itu sendiri. Konon seseorang yang suka menulis/merangkai kata-kata bernada puitis cenderung memiliki perasaan yang halus. Dan, perasaan tidak hanya identik dengan kaum perempuan saja, sebab masing-masing manusia dikaruniai perasaan, termasuk laki-laki. Jangan beranggapan mereka tidak berperasaan loh ya.

***

Menulis puisi memang kegiatan yang terlihat sepele dan remeh-temeh bagi sebagian besar orang yang belum tahu atau hanya tahu sekadarnya tentang puisi. Tapi, saya berani jamin bahwa tidak semua orang mampu memilah dan memilih kata untuk diefisienkan menjadi sebuah larik kalimat yang minim kata namun sarat akan makna. Di satu sisi, kita tidak akan pernah benar-benar mengetahui secara pasti latar belakang seseorang menggubah sebuah syair puisi. Kendatipun dalam beberapa kasus puisi memang ditulis dengan spontanitas atas apa yang saat itu dirasakan oleh seseorang. Tetapi saya menganggap bahwa hal demikian adalah sebuah proses/perjalanan seseorang untuk mampu menulis syair puisi yang sarat akan nilai-nilai arketis dan senantiasa menyematkan perenungan mendalam dalam setiap larik kalimat yang dia tulis.

Banyak penyair yang menyelipkan sebuah maksud tertentu dalam bait-bait puisinya, baik itu satir, perenungan terhadap sebuah persitiwa, dan lainnya. Tidak jarang pula dalam bait-bait puisi seorang penyair menuangkan secara sastrawi hasil penafsirannya atas Kitab Suci yang telah ia baca, sehingga puisi tersebut memiliki kedalaman makna yang bernilai sufistik. Puisi-puisi karya Jalaluddin Rumi, misalnya. Seorang tokoh sufi yang menggubah ratusan syair-syair puisi bernuansa cinta ilahiah. Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, kita akan sampai pada sebuah rumusan tentang latar belakang di balik lahirnya sebuah puisi.

Puisi memiliki ikatan yang kuat dengan cinta. Cinta memiliki ikatan yang kuat dengan kerinduan. Seorang yang sedang jatuh cinta (kasmaran) biasa mengungkapkan kerinduannya dengan syair puisi. Entah apa alasannya, puisi memang sering terlahir karena adanya keresahan. Pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk siapa kerinduan itu ditujukan? Kepada sesama manusia atau kepada dzat yang menciptakan manusia?”

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa, Kitab Suci Al Quran juga ditulis dengan bahasa yang puitis atau sastrawi. Kalimat-kalimat yang minim kata tetapi sarat makna. Bahasa yang pada kalimat-kalimatnya tidak menyampaikan maksudnya secara langsung atau terus terang, namun memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk bebas menafsirkannya. Sesuatu hal yang menurut saya menjadi salah satu alasan mengapa puisi harus tetap ada. Sebab, Tuhan pun senantiasa berpuisi dalam menyampaikan firman-firman-Nya.

***

Mengapa saya mengatakan bahwa Kitab Suci itu ditulis dengan bahasa yang puitis atau sastrawi? Karena hampir di setiap firman Allah SWT., di dalam Kitab Suci Al Quran, bahasa yang digunakan adalah karakteristik bahasa puisi dengan rima dan bersahaja. Bahkan ketika mulai muncul pertanyaan: “sejak kapan puisi mulai ditulis?” di benak saya. Saya pun berpikiran bahwa puisi mulai ditulis setelah Al Quran turun ke bumi dan mulai dibaca oleh umat manusia. Oleh sebab itu, tidak boleh sembarangan orang menafsirkan Al Quran, harus punya ilmunya, membutuhkan mufassir (ahli tafsir) untuk memahami maksud yang sesungguhnya. Banyak ayat yang disangka maksudnya begini, ternyata maksudnya begitu. Tapi, kalau sekedar ingin mentadaburi artinya guna meningkatkan girah keimanan kita. Itu sah-sah saja. 

Bahasa Al Quran adalah bahasa sastrawi. Hal itu bisa kita lihat pada terjemahan tiga ayat dalam Surat Al-‘Ashr. Meskipun terjemahan ini saya kutip dari Al Quran hasil terjemah Kementerian Agama Republik Indonesia, namun tetap tidak mengurangi nilai-nilai estetis sastrawinya. Berikut terjemahnya:

1. Demi masa;
2. Sungguh manusia berada dalam kerugian.
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Surah di atas cukup singkat, bukan? Tapi, bagi para mufassir yang memahami asbabun nuzul-nya tentu akan memberikan penafsiran yang luas, sehingga surat yang singkat tersebut menjadi kaya akan makna. 

Kita juga dapat melihat betapa nilai-nilai sastrawi itu padat terkandung di dalam setiap ayat dalam surat Al Quran yang lainnya. Misalnya, dalam Surat Al-Fiil. Di mana surat ini cukup masyhur sebagai surat yang pernah diremehkan oleh nabi palsu bernama Musailamah al-Khazab. Ia mencoba menandingi ayat tersebut dengan menggubah sebuah surat yang jika dimaknai justru mendefinisikan tubuh seekor gajah. Meskipun ayat gubahannya tersebut mengandung rima di setiap ujung ayatnya, yaitu berakhiran huruf Lam. Tapi sesungguhnya ayat-ayat tersebut tuna-makna. Dan, saya pun meyakini bahwa di dalam kitab suci selain Al Quran, kita juga bisa menjumpai ratusan ayat yang menggunakan bahasa-bahasa puitis atau sastrawi di dalam kalimat-kalimatnya.

Menulis puisi adalah aktivitas perenungan tentang perlbagai peristiwa yang kita temui di sekitar kita. Tentang apa yang kita lihat, tentang apa yang kita dengarkan, dan tentang apa yang kita rasakan. Semua itu menjadi embrio lahirnya anak-anak puisi dari rahim pikiran seseorang.


AE, 10 Agustus 2020.

Post a Comment for "Di Balik Lahirnya Sebuah Puisi"