Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

A s t i

Cerpen atau cerita pendek adalah bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa, dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.  Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur,




Senja kala itu, kita kembali bertemu di sebuah Taman Kota yang penuh sejarah. Tempat awal kita berjumpa, berkenalan, sampai akhirnya terjalin hubungan khusus di antara kita. Kau mengirim pesan singkat yang berisi permohonan agar aku datang tepat waktu sebelum senja tiba. Katamu, agar kita bisa sama-sama menyaksikan awal kehadiran senja hingga ia benar-benar tenggelam dalam dekapan malam.


“Ada apa kok mendadak sekali?” tanyaku membalas pesan singkatnya siang itu.
“Gak ada apa-apa kok, cuma pengen ketemu kamu aja?” balasnya dalam pesan singkat yang membuatku semakin dirundung rasa penasaran.
“Baiklah, aku kesana nanti.” sahutku mengakhiri percakapan dengan menyisakan sedikit rasa bingung.

Sesampainya di Taman Kota, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, celingukan mencari posisi di mana Asti menempatkan diri. Dan, pencarianku pun terhenti pada seorang perempuan yang duduk sendirian menghadap arah matahari tenggelam. Kurasa itu dia, di pojok barat taman, duduk termangu di kursi panjang yang terbuat dari bambu.

“Hai, As,” begitu aku menyapanya yang tengah duduk bersama segelas cokelat panas di sampingnya. “Sudah lama menunggu?” imbuhku.
“Hai, Nan. Belum lama kok, baru sekitar lima belas menit,” ucapnya dengan senyuman hangat di bibirnya. “Silahkan duduk.” pintanya.
“Ya. Nampaknya enak tuh cokelatnya?” gurauku mencoba mencairkan suasana sore itu.
“Hehe. Kamu mau?”
“Ah, nggak kok. Cuma bercanda, buat kamu aja.”
“Serius juga gak papa loh.”
“Hehe, iya. Nanti aku pesan sendiri aja.”

Sore itu adalah kali pertama kami berjumpa setelah hampir enam bulan dipisahkan oleh kesibukan masing-masing. Aku sedang sibuk mengurus yayasan sekolahku, sementara Asti sibuk dengan usaha butiknya. Saat ini kami memang sedang merintis usaha masing-masing.

Aku dan Asti sudah saling mengenal sejak lebih dua tahun yang lalu. Di taman ini juga kami kali pertama bertemu. Entah, bagaimana ceritanya kita bisa saling kenal dan seiring berjalannya waktu menjadi kian akrab. Meskipun begitu, kami baru punya hubungan khusus satu tahun terakhir dan tiga bulan lagi kami berencana melangsungkan pernikahan.

“Ehh, ngomong-ngomong lama juga ya kita tak jumpa?” tanyaku pada Asti yang masih duduk di posisi semula.
“Iya juga ya? Kamu sih sibuk terus.”
“Heleh, kamu juga, As.”
“Jadi, kita sama-sama sibuk dong?”
“Hahaha...” kami tertawa bersama.

Kemudian, suasana kembali hening. Kami sama-sama memandang ke arah senja yang mulai merekah. Aku memandang senja dengan tajam, seperti saat aku menatap mata Asti, begitupun Asti juga melakukan hal yang sama. Kemudian, terdengar lirih suara yang turun dari bibir Asti. Suara yang terdengar parau dan berat, mungkin sedikit sendu. Tidak seperti biasanya.

“Adnan...” ucapnya yang tampak mengatur nada bicaranya.
“Hemmm, iya. Ada apa, As?”
“Boleh aku bicara sesuatu padamu?”
“Boleh, As. Apaan sih, kok canggung banget gitu?” ucapku berusaha mencairkan suasana yang semakin kaku dan dipenuhi keseriusan.
“Tapi aku yakin kamu akan kecewa dengan apa yang akan aku katakan ini.”

Kini diam itu berpindah kepadaku yang tengah menunggu ihwal apa yang akan dikatakan oleh Asti. Benarkah apa yang akan dikatakannya itu bakal membuatku kecewa? Aku mencoba untuk tidak berpikiran buruk tentang keadaan ini.
“Nan...” kalimat itu tiba-tiba membubarkan lamunanku.
“Ehhh iya, As. Maaf, sampai mana tadi?”
“Ya, itu tadi. Boleh nggak aku bicara?”
“Iya, As. Boleh, silahkan.”
“Aku tahu kita akan menikah tiga bulan lagi. Tapi, aku benar-benar minta maaf.”

Asti mendadak diam, seolah sedang merangkai kata yang paling tepat untuk dia ucapkan. “Dua hari yang lalu, aku dilamar oleh anak dari sahabat lama Ibuku. Aku tidak bisa menolaknya, Nan. Sebab, tanpa sepengetahuanku ternyata kami sudah dijodohkan sejak lama.” imbuhnya sambil terus menundukkan kepala dan menyembunyikan airmatanya.

Kami berdua serempak diam, mematung, dan tak berani beradu tatap satu sama lain. Senja semakin merekah dan berjalan landai menuju pelukan malam. Angin berhembus damai, namun suara-suara di sekeliling taman kian ramai.

“Nan, kamu berhak marah. Kamu juga berhak membenciku dengan keputusanku ini. Aku siap kalo kamu ingin mengibarkan panji amarah kepadaku.” Asti mencoba menjelaskan maksudnya dengan tetap terlihat tegar, kendati tak dapat ia sembunyikan kesedihan yang tampak dari bulir airmata yang mulai membanjiri kelopak matanya.

Mendengar serangkaian kalimat itu terucap darinya, membuatku tiba-tiba merasakan darah yang membeku, lidah yang kelu dan dingin mulai merambat di sekujur tubuhku. Nadiku serasa tak berdenyut lagi. Seperti ada sebilah pedang yang tiba-tiba menebas kesadaranku. Seperti ada halilintar yang menyambar pikiranku. Kemudian terdiam, semakin diam dan dalam.

Setelah sepersekian menit aku dan Asti terdiam dan membisu. Aku mencoba menarik nafas sedikit lebih dalam, berulang kali, hingga semua metabolisme dalam tubuhku kembali normal. Seolah aku mampu merasakan jasad dan ruhku menyatu kembali. Dan, perlahan aku mencoba menjawab pernyataan Asti.

“Asti, kamu tahu kan kita sudah kenal lama? Bahkan, hanya tinggal menghitung bulan pernikahan kita akan dilangsungkan. Kenapa kamu mengambil keputusan dengan sepihak seperti ini?” Kucoba menanggapinya dengan sepilihan kata yang sebenarnya sangat berat untuk diucapkan. Seolah tertahan, bagai perut merapi yang sedang menahan ledakan magmanya.

Asti terlihat semakin sesenggukan menahan tangisnya. Dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tangannya tak henti-hentinya menyeka airmata yang dengan deras membanjir di kedua pipinya.

Belum sempat dia menjawab, aku sudah menimpalinya lagi dengan pertanyaanku. “Jawab As. Kenapa harus seperti ini? Apa semua ini tak bisa dibicarakan dengan baik-baik terlebih dahulu?” suaraku mulai meninggi dan parau.

Sambil masih menangis sesenggukan, Asti mencoba menjawab pertanyaanku. “Nan, aku tahu kamu akan kecewa seperti ini. Aku tahu kamu akan marah. Aku juga tahu apa yang kamu rasakan saat ini, karena aku pun merasakan hal yang sama, Nan.”
“Kalo kamu merasakannya, kenapa kamu lakukan ini, As? Jawab!”
“Cukup, Nan! Aku tak sanggup lagi menjawab semua pertanyaanmu itu. Kelak kamu akan mengerti. Kuharap kamu juga berkenan datang ke resepsiku yang akan dilaksanakan dua bulan lagi.”
“Secepat itu, As?” sergahku.

Asti hanya membisu, seolah tak sudi lagi menanggapiku. Diikuti hening suasana senja kala itu. Hanya hiruk kicau burung yang berbondong-bondong menuju sarangnya yang sedikit menghidupkan suasana di antara kami. ─Semakin dalam, semakin mencekam.─ Perih dan pedih menahan rindu untuk berjumpa. Tapi, justru kabar lara bagai tebasan pedang yang kuperoleh dari perjuanganku menahan rindu selama ini.

“Nan, tenggelamnya senja itu akan menjadi pertanda bahwa, hubungan kita sudah berakhir sampai di sini, di taman ini. Setelah itu kamu bisa meninggalkanku sendiri di sini. Om dan Tante pasti sudah menunggumu di rumah. Titip salam untuk mereka, dan sampaikan permintaan maafku.”

Itulah kalimat terakhir yang Asti sampaikan, sekaligus kalimat penutup yang mengakhiri perjumpaan kami. Aku tidak lagi bicara sepatah kata pun kepadanya, bahkan untuk sekedar mengucapkan salam. Aku tak mau. Aku benar-benar kecewa dengan keputusan sepihak Asti. Namun, aku mencoba untuk tidak menampakkan kekecewaan itu. Aku sadar, Asti berhak memilih siapa yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya.

***

Selang dua bulan setelah pertemuan sore itu, aku kembali datang ke rumah Asti untuk memenuhi permintaannya kala itu. Yakni, hadir di acara pernikahannya. Namun, entah karena alasan apa undangan itu tak kunjung sampai kepadaku hingga detik ini. Hal yang membuatku sedikit canggung untuk datang. Pada akhirnya aku mengambil inisiatif untuk datang tanpa membawa undangan dan tanpa mengetahui kepastian hari dan tanggal.

Sesampainya di rumah Asti, suasana terasa hening dan sunyi, mungkin terlalu riskan untuk dikatakan mencekam. Tak terlihat ada persiapan atau mungkin suasana pasca acara pernikahan. Tanpa janur kuning, tanpa ronce bunga, pun tiada hiasan apapun seperti umumnya acara pernikahan.

Aku coba mengetuk pintu rumahnya sambil mengucap salam. Terhitung lebih dari tiga kali aku melakukannya. Lama tidak ada jawaban, hingga aku hendak berbalik arah dan mengambil langkah untuk kembali pulang.

Namun, tiba-tiba keluar seorang perempuan paruh baya, menggunakan dresscode serba hitam, dengan wajah sayu dan mata yang sedikit lebam karena banyak menangis. Beliau adalah ibunya Asti. Membukakan pintu dan menjawab salam dariku, kemudian dia menangis sejadi-jadinya. Aku masih tidak paham dengan apa yang terjadi dan hanya bisa diam mematung melihatnya menangis sesenggukan. Lalu, Ayah datang untuk kemudian menenangkannya.

“Om, Tante, maaf ada apa ini? Saya datang kok malah membuat Om dan Tante menangis?” kalimat itu yang pada akhirnya meluncur dari bibirku.
“Nak, Adnan. Sekarang sudah saatnya kamu tahu yang sebenarnya.” Tante memulai pembicaraan. “Mungkin dua bulan yang lalu Asti memberitahumu kalau dia akan melangsungkan pernikahannya bulan ini. Namun, Nak Adnan perlu tahu bahwa pada saat dia mengatakan hal itu adalah tepat dua bulan sebelum dia meninggal dunia. Tepatnya seminggu yang lalu.” Airmata kembali memburai di kedua mata perempuan itu.

“Dokter telah memvonis umur Asti tinggal dua bulan sejak ia dinyatakan mengidap kanker darah stadium 4. Asti hanya pasrah dengan keadaan yang dialaminya, merasa semua telah sia-sia. Dia tidak ingin menjadi beban pikiranmu, dan dia tidak ingin membuatmu bersedih. Dia terpaksa berbohong kepadamu. Dia juga melarang kami untuk memberitahumu sebelum dia meninggal dunia. Dia yakin, suatu saat kamu akan datang sendiri ke sini. Dan itu benar terjadi hari ini. Maafkan Asti, Nak.” Tutur Ayah menjelaskan yang sebenarnya terjadi, sambil menenangkan istrinya yang sudah hampir tak bisa menahan tubuhnya sendiri.

Mendengar sepenggal demi sepenggal penjelasan itu merasuki telingaku, tiada terasa airmata mulai membasahi kedua mataku, mengalir di kedua pipiku. Rasa bersalah mulai menghinggapi hatiku. Kucoba menenangkan diri, mengambil tarikan napas sedikit lebih dalam dan bergumam dalam hati:

“Asti, seharusnya kau tak perlu berbohong tentang semua ini.”


____________________________________________
Madiun, 10 Agustus 2020 (diperbarui, 18/09/2023)



Post a Comment for "A s t i"