Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pertanda Kematian

Burung Hantu adalah spesies burung yang aktif di malam hari


Konon jika burung Serak Jawa bersuara di malam hari merupakan pertanda akan ada orang meninggal dunia di daerah tersebut. Tapi, aku adalah salah satu orang yang tidak sepenuhnya percaya dengan mitos tersebut, meskipun beberapa kali memang terjadi betul.


Suara burung itu memang menghadirkan hawa yang berbeda, bisa dikatakan mistik, bagi yang mendengarnya. Pasalnya burung itu tak pernah terdengar suaranya di siang hari. Bahkan dari sekian orang yang pernah kutanyai; tak seorang pun yang tahu persis wujud daripada burung itu. Karenanya, jika tiba-tiba terdengar suaranya di malam hari, hal itu dianggap sebagai suara makhluk dari dunia lain yang memberikan isyarat tertentu. Mayoritas orang menafsirkannya sebagai isyarat kematian.

Sebagian besar orang di desaku ketika mendengar burung itu bersuara di malam hari dan kebetulan rumahnya berdekatan dengan sumber suara. Bisa dipastikan besoknya satu keluarga akan langsung berduyun-duyun mendatangi kediaman orang sepuh di desaku untuk mendengarkan petuahnya serta meminta syarat-syarat tertentu demi menolak peristiwa yang tidak diinginkan, yaitu kematian.

Mbah Sogir adalah orang sepuh yang aku maksud. Usianya kisaran 99 tahun dan dia terkenal sebagai orang sepuh yang memiliki ilmu kejawen* sehingga bisa membaca isyarat alam tentang suatu hal yang akan terjadi. 

Hal semacam itu lazim ditemui dalam kultur kehidupan orang pedesaan, meminta syarat-syarat tertentu kepada orang sepuh yang diyakini waskito; tahu sebelum winarah. Karenanya, orang-orang seperti Mbah Sogir biasanya akan dimintai pertolongan oleh masyarakat setempat untuk mencari hal-hal tertentu, misalnya mencari barang hilang, “mamagari” rumah, mengatasi bayi yang gampang nangis, menyembuhkan orang kerasukan, hingga dimintai pertolongan untuk menunda jadwal kematian.

Suara burung Serak Jawa di malam hari memang terdengar menyeramkan, apalagi saat malam sedang hening-heningnya. Orang yang merasa dekat dengan sumber suaranya akan mendadak merinding dan menegak bulu kuduknya. 

***

Malam itu kebetulan aku baru pulang dari menghadiri undangan teman, kira-kira pukul satu dini hari. Dalam perjalanan pulang aku sengaja mengendarai sepeda motorku dengan pelan-pelan agar tidak mengganggu kenyenyakan tidur tetangga sekitar. 

Namun, saat aku melintasi jembatan desa menuju ke rumahku, tiba-tiba aku mendengar suara burung Serak Jawa berkali-kali dari balik lebat dan gelapnya bambrongan.** Tapi, aku tidak terlalu mengambil hati dengan hal itu, sehingga aku pun tetap melanjutkan perjalan pulang.

Keesokan harinya, ketika matahari belum benar-benar merekah, saat aku dan Bapak menjalani rutinitas pagi bersama, dengan duduk berdua di beranda rumah untuk sekadar menikmati seduhan kopi hitam olahan Ibu. Aku sempatkan bertanya kepada Bapak tentang kejadian yang aku alami semalam.

“Pak, apa benar to kalo ada suara burung Serak di malam hari itu pertanda akan ada orang meninggal dunia?” kataku kepada Bapak yang sedang asyik menghisap sebatang kretek "Cigarskruie" yang terselip di antara jemarinya.

“Kata Simbahmu dulu begitu. Karena burung itu tidak setiap hari muncul, sebulan pun juga belum tentu. Jadi, orang-orang di sini meyakini kalo burung itu membawa pertanda tertentu, biasanya pertanda kematian.” jawab bapak dengan santai.

Perlu kalian ketahui bahwa Simbah atau Kakekku atau ayah dari Bapakku atau mertua dari Ibukku adalah orang yang semasa hidupnya juga disepuhkan di desaku. Beliau wafat di usianya yang menginjak 99 tahun. Dahulu pasien Simbahku juga sama banyaknya seperti pasien Mbah Sogir saat ini, sehari bisa puluhan orang datang untuk meminta pertolongan ini dan itu.

“Oh, iya Pak. Tadi malam aku mendengar burung itu bersuara di sekitar pohon bambu dekat jembatan desa. Kalo gak salah itu kan juga dekat rumahnya Lek Sardi, ya?” kataku melanjutkan pembicaraan.

“Loh, iya to Le...???” sahut bapak sedikit terkejut.

“Inggih, Pak.”

“Oalah, yo wes kita berdoa yang baik-baik saja ya, Le.” kata bapak sekaligus mengakhiri percakapan kami karena harus bergegas ke ladang. Aku hanya menanggapi dengan mengangguk pelan. 

Selang seminggu setelah malam itu, aku merasa tidak ada perihal yang aneh ataupun mengkhawatirkan. Hingga siang itu tiba, ketika aku pulang dari tempatku bekerja. Aku dikejutkan dengan peristiwa yang tidak aku sangka-sangka sebelumnya. 

Sewaktu aku melintasi depan rumah Lek Sardi, aku melihat kerumunan orang yang sudah memadati rumahnya. Tetapi aku sengaja tidak menghentikan laju motorku sebelum sampai di rumah. Di teras rumah kulihat Ibu dan Bapak sudah duduk di kursi bambu bersama beberapa orang tetangga. 

Belum sempat aku bertanya, Ibu sudah menyergahku:
Lek Sardi sedo* Le,”

“Haah, kok bisa? Perasaan kemarin masih sehat?” sergapku terkejut.

“Iya, tadi pagi digigit ular sewaktu ngarit di sawah.”

“Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un.” Jawabku singkat, kemudian masuk ke rumah untuk bersiap-siap melayat.

Setelah kejadian itu, hampir 2 bulan aku tidak lagi mendengar suara burung itu. “Ternyata benar yang dikatakan Bapak, ─burung itu jarang bersuara.” gumamku.

***

Malam minggu, seusai bekerja, aku tidak langsung pulang ke rumah karena ada janji dengan rekan kerjaku untuk ngopi di salah satu warung kopi langganan kami. Ya, sekedar melepas penat setelah seharian bekerja. Dan, karena besok hari minggu kami pun ngopi hingga larut malam. Namun, menjelang pukul satu dini hari aku pamit pulang kepada teman-teman karena sedari tadi kantuk sudah menjangkiti mataku. 

Dalam perjalanan pulang, entah kebetulan atau tidak, aku mendengar suara burung itu lagi. Suaranya terdengar jelas dari atas pohon sawo dekat rumah Pak Maksum; kepala dusunku. Karena rasa penasaranku, aku sempat berhenti sejenak untuk melihat seperti apa wujud burung itu. Namun, karena malam yang terlalu gelap membuatku tidak mampu melihatnya. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang.

Keesokan harinya aku ceritakan lagi tentang apa yang aku alami semalam kepada Bapak, tetapi jawabannya sama seperti sebelumnya: “Oalah, yo wes kita berdoa yang baik-baik saja ya Le.” dan tentunya aku tidak mengambil pusing dengan jawaban itu.

Kemudian, terdengar suara Ibu memanggilku dari ruang dapur. Meminta tolong untuk membelikannya minyak goreng dan beberapa kebutuhan dapur lainnya. Aku pun langsung berangkat ke toko untuk membeli barang-barang permintaan Ibu. Dalam perjalananku menuju toko, tanpa sengaja aku melihat Bu Maksum (istri Pak Maksum) bersama putranya bertamu ke rumah Mbah Sogir. Tentu saja, aku tidak berniat membuntutinya, hanya kebetulan jalan dari rumahku menuju toko sembako melewati rumah Mbah Sogir. Melihat hal itu aku menduga bahwa di antara mereka pasti juga mendengar suara burung itu tadi malam.

Sungguh terkejutnya aku. Sebab beberapa hari setelah malam itu dan setelah melihat Bu Maksum bersama putranya bertamu ke rumah Mbah Sogir. Aku mendapat kabar bahwa Pak Maksum meninggal dunia karena serangan jantung. Aku yang waktu itu masih berada di tempat kerja sempat tercenung cukup lama memikirkan hal itu, sebelum akhirnya gertakan bosku membuyarkan cenungku.

***

Aku merasa sedikit lega karena sudah lebih dari lima bulan ini atau setelah kematian Pak Maksum, aku tidak mendengar suara burung itu lagi. Hingga aku pun mulai menganggap bahwa beberapa peristiwa itu hanya kebetulan semata, ─tak ada sangkut-pautnya.─

Tetapi, anggapanku itu mendadak buyar ketika suara burung itu tiba-tiba terdengar lantang dan jelas, menerobos masuk ke dalam rongga telingaku, membubarkan keheningan malam, mengoyak kedamaian, dan mengacaukan pikiranku. 

Aku yang malam itu sedang fokus merampungkan pekerjaan, seketika langsung terkesiap dan menutup laptopku dengan sigap. Suara burung itu terdengar sangat jelas berasal dari sebelah barat rumahku yang banyak ditumbuhi pohon bambu. 

Saat itu aku tidak lantas keluar kamar, sedangkan burung itu masih terus meracau di luar rumah sehingga membuatku merinding dan menegak bulu kudukku. Aku pun langsung melompat ke atas kasur dan menarik selimut untuk menutupi seluruh bagian tubuhku. Tanpa kusadari kumandang azan subuh telah membangunkan tidur pulasku. 

Selepas melaksanakan salat subuh, seperti biasa aku menyeduh kopi hitam bersama Bapak kemudian menikmatinya berdua di beranda rumah kami. Saat itu juga kusempatkan bertanya kepada Bapak, apakah semalam juga mendengar suara burung itu. Bapak dan Ibu dengan kompak menjawab: tidak mendengar.

Aku sempat berencana ingin berkonsultasi dengan Mbah Sogir tentang hal itu, tetapi masih bimbang antara iya atau tidak. Kendati beberapa teman juga menyarankan hal yang sama, tapi aku hanya menjawab “iya-iya” saja. Hingga seminggu pasca aku mendengar suara itu, aku belum juga mendatangi rumah Mbah Sogir. Aku pun mulai merasa yakin bahwa keadaan akan baik-baik saja.

***

Pagi-pagi sekali, aku dikejutkan dengan kabar tidak mengenakkan yang disampaikan oleh Bapak; bahwa semalam Mbah Sogir meninggal dunia akibat tersengat listrik di rumahnya. Anak dan istrinya tidak ada yang mengetahuinya, sebab diperkirakan kejadiannya dini hari, saat semua anggota keluarga telah tertidur pulas. 

Mendengar kabar itu, seketika aku langsung meneguk secangkir kopi panasku dengan secepat kilat, tanpa menghiraukan ekspresi dari kedua orang-tuaku yang tertegun melihatku.


AE, Juli-Agustus 2020.




*) ilmu kejawen: ilmu Jawa kuno.
**) bambrongan: akar pohon bambu yang lebat.
***) sedo: meningga dunia.

Post a Comment for "Pertanda Kematian"