Hikayat Seorang Demonstran
sumber: google x picsart |
Sepenggal nasihat dari salah seorang dosen yang masih aku ingat sejak berstatus sebagai mahasiswa baru hingga menjadi seorang sarjana adalah:
“Sebagai
orang yang terdidik, wajib hukumnya kita memiliki idealisme, bahkan sampai
suatu saat kita terjun ke dalam masyarakat, jangan sampai idealisme tersebut
terlepas dari genggaman kita dan tidak tersisa sama sekali. Kalau hari ini saja
kalian tidak memiliki idealisme yang kuat, bagaimana kelak ketika sudah kembali
ke masyarakat?” demikian tuturnya saat berpidato di hadapan ribuan mahasiswa
baru.
Nasihat
tersebut menjadi relevan dengan fenomena yang kita hadapi dewasa ini. Banyak
dari kalangan akademisi yang kita kenal tegas dan cerdas, namun ketika sudah
memasuki dunia kerja apalagi sudah menduduki kursi jabatan, mereka perlahan
kehilangan idealisme yang pernah mereka rawat semasa duduk di bangku
pendidikan.
Banyak kita temui oknum-oknum pejabat yang saat kuliah aktif dalam gerakan anti-korupsi,
anti-kapitalisme, anti ini dan anti itu, namun ketika sudah menduduki kursi
jabatan justru dia sendiri yang melakukan tindakan sebaliknya. Ada juga yang
sewaktu kuliah aktif menjadi promotor aksi buruh setiap tanggal 1 Mei, tapi setelah
lulus dan terjun ke dalam masyarakat dia malah tidak ada bedanya dengan para oknum yang suka menindas nasib kaum buruh. Tentu saja hal itu bertolak
belakang dengan apa yang pernah menjadi idealisme mereka semasa kuliah. Yang
konon katanya membela harkat dan martabat rakyat kecil.
Bagi
seorang mahasiswa, kuliah merupakan masa yang paling tepat untuk menghimpun
ilmu dan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sudah sepatutnya bagi seorang
mahasiswa memiliki prinsip bahwa; setiap orang adalah guru, setiap tempat
adalah sekolah, dan setiap hal adalah ilmu. Di sisi lain waktu luang di luar
jam perkuliahan juga menjadi ajang berproses guna membentuk jati diri mereka.
Seperti halnya yang dilakukan oleh salah seorang teman akrabku, Ragil. Dilihat
dari namanya saja sudah ketahuan bahwa dia anak bungsu. Dia adalah salah satu
contoh mahasiswa yang karakternya terbentuk oleh penempaan dalam dunia
perkuliahan.
Meskipun
Ragil dan aku satu angkatan, tapi harus kuakui bahwa dia adalah tipe mahasiswa
yang gesit dan gigih. Seorang aktivis kampus yang mahir dalam berdialektika dan
berorasi, hampir semua organisasi yang ada di kampus pernah ia ikuti. Tidak
heran jika dengan pengalamannya itu, ia dijadikan sebagai seorang orator dalam
berbagai egenda demonstrasi. Sangat patut bila ia dijuluki sebagai “Master
Orasi.”
Suatu
saat kami sedang berada di kantin kampus untuk sekedar menikmati secangkir
ngopi dan bertukar isi kepala, pun sepiring tempe goreng sudah duduk manis di
hadapan kami.
“Bagaimana
dengan demo kemarin? Aman atau chaos?”
tanyaku dengan nada gurau.
“Aman
terkendali dong. Semua partisipan sangat antusias mengikuti serangkaian acara
demonstrasi dan dengan hikmat turut mendengarkan orasiku.” jawabnya dengan nada
sangat percaya diri.
“Widiiih,
kamu jadi orator lagi?”
“Iya
lah, aku kan selalu turut andil sebagai orator. Hehehe.” jawabnya dengan
terkekeh.
“Heleh,
profesimu yang itu selalu saja kau banggakan.” balasku singkat.
“Habis
mau gimana lagi, aku kan tidak punya prestasi lain yang bisa dibanggakan.
Hahaha.” Kami pun tertawa bersama.
Kemudian
Ragil menghisab sebatang rokok yang sedari tadi terapit di sela-sela jarinya,
dan aku meneguk secangkir kopi pahitku yang mulai dingin ditiup lalat-lalat
kecil.
“Kuliahmu
gimana, lancar?” tanyaku kemudian sesaat setelah pembicaraan kami sempat
terhenti. Sudah semestinya sebagai seorang teman kita saling menaruh perhatian
kepada teman kita, sekecil apapun perhatian itu. Karena bagiku hal itu bukan
termasuk kategori mencampuri urusan orang lain, namun rasa peduli terhadap
teman.
“Lancar.
IPK terakhirku saja masih 3.70.” balasnya.
“Oh,
hebat juga ya kamu. Nyontek siapa? Haha.” kataku meledeknya. Sejak dahulu kami
memang sudah terbiasa saling melempar joke
ketika duduk bersama.
Kemudian,
kami kembali menikmati secangkir kopi yang semakin dingin diperam waktu.
Percakapan itu terjadi pada saat kami masih duduk di bangku semester lima
perkuliahan, hanya saja kami beda fakultas, jadi jarang ketemu.
Meskipun
Ragil adalah seorang aktivis mahasiswa dengan seambrek organisasi yang ia
geluti, namun dia tidak pernah lepas kendali terhadap kewajibannya sebagai
seorang yang sedang menempuh pendidikan. Penampilannya juga tidak terlalu
buruk, tidak seperti lumrahnya aktivis mahasiswa. Hanya saja dia itu jarang
mandi, soalnya sering bangun kesiangan efek dari begadang semalaman.
Semakin
lama, karena kesibukan kami masing-masing, kami menjadi semakin jarang bertemu.
Mungkin hanya sebulan sekali kami bisa ngopi bareng lagi. Dia sibuk dengan
beraneka ragam kegiatan organisasinya, sedangkan aku sibuk menggeluti dunia
seni dan sastra. Aku cukup aktif dalam kegiatan kepenulisan puisi, cerpen, dan
menjual jasa sketsa wajah. Sesekali juga berpartisipasi dalam beberapa event
perlombaan.
Perlu
kalian ketahui, bahwa sebenarnya aku ini tidak terlalu yakin dengan sanjungan
“Master Orasi” yang ditujukan kepada Ragil. Alasan pertama, aku belum pernah
melihat dia berorasi secara langsung di depan mata dan kepalaku sendiri. Alasan
kedua, aku sudah sejak lama mengenal dia sebagai sosok yang tidak banyak omong
alias pendiam, jadi bagaimana mungkin dia bisa dijuluki sebagai master orasi
seperti yang orang-orang katakan?
Namun,
semua keraguanku itu akhirnya terjawab saat aku melihat orasinya secara
langsung. Terus terang saja, aku juga ikut kagum padanya. Seolah dalam hatiku
ada rasa tidak percaya bahwa dia adalah Ragil sahabatku yang selama ini aku
kenal.
Aku
melihat dia sedang memimpin orasi di kampus kami. Ceritanya waktu itu sedang
terjadi aksi demonstrasi besar-besaran di depan gedung rektorat. Latar
belakangnya adalah karena adanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pihak
pimpinan kampus terhadap keuangan kampus yang mengakibatkan defisit keuangan
kampus yang cukup signifikan. Hal itu terbukti setelah adanya hasil pemeriksaan
BPK yang entah bagaimana ceritanya bisa tersebar ke seluruh dosen, mahasiswa,
satpam, bahkan penjual gorengan di kantin kampus juga turut membicarakannya.
Dampaknya kasus itu berhasil menyulut emosi ribuan mahasiswa untuk melakukan
aksi demonstrasi.
Saat
itu dengan saksama aku memperhatikannya berorasi. Sungguh, ia berorasi dengan
sangat lantang. Kukira ia telah banyak membaca buku-buku karya Soe Hok Gie:
seorang aktivis mahasiwa asal UI yang tewas terbunuh di puncak Mahameru. “Eh,
jangan-jangan Ragil juga akan bernasib sama?” gumamku tiba-tiba yang seketika
itu juga aku tepiskan dari pikiranku.
Sebagai
seorang aktivis yang gemar berdemonstrasi, perihal berurusan dengan aparat
kepolisian bukanlah hal yang baru bagi Ragil. Selama kuliah dan berulang kali
memimpin aksi demonstrasi, selama itu pula Ragil sudah berulangkali berurusan
dengan aparat kepolisian, bahkan ia pernah dipukuli sampai bonyok oleh oknum
yang tidak diketahui identitasnya.
Keteguhannya
dalam beridealis saat kuliah terus ia pegang erat-erat hingga dia lulus dari
bangku perkuliahan. Setelah lulus ia sempat menganggur selama tiga bulan karena
tidak kunjung menemukan pekerjaan yang sesuai dengan hati nuraninya. Dengan
kata lain bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup yang selama ini ia pegang.
Ia bukan karakter orang yang serta-merta bersedia untuk tunduk dan patuh
terhadap kebijakan perusahaan, apalagi jika perusahaan itu milik asing.
Waktu
itu dia pernah bekerja di perusahaan properti yang ada di Kota Surabaya,
perusahaannya cukup besar, tetapi baru tiga minggu bekerja di sana, dia sudah
minta resign. Saat itu aku sempat
menghubunginya untuk menanyakan alasan apa yang membuat ia keluar dari tempat
kerjanya.
“Kamu
kenapa resign dari kantormu?” tanyaku melalui telepon.
“Aku
tidak mau menjadi robot di perusahaan milik asing itu,” jawabnya singkat.
“Maksudmu?”
“Ya,
bagaimana tidak? Aku diminta bekerja dari pagi sampai malam setiap hari, waktu
istirahat hanya jam dua belas sampai jam satu siang, tidak boleh lebih. Bahkan
untuk sholat saja aku harus mencari sela-sela waktuku sendiri.” Dia diam sejenak.
“Emang kamu sendiri mau bekerja dengan diperbudak seperti itu?” imbuhnya.
“Ya
enggak sih.”
“Nah
iya. Kamu aja gak mau. Apalagi aku?”
Dia
benar-benar seseorang dengan karakter yang sangat kukuh dalam mempertahankan
idealismenya, bahkan dalam kondisi tidak kunjung mendapatkan pekerjaan
sekalipun, ia tetap kukuh dengan nilai-nilai hidup yang ia yakini kebenarannya.
Di
zaman edan seperti sekarang ini, bisa jadi sangat sulit menemukan orang seperti
dia. Sebab mayoritas orang jika sudah dipepet oleh kebutuhan hidup, ia akan
menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan hanya untuk
memenuhi hasrat duniawi semata, seseorang rela memangkas hak-hak orang lain
untuk memenuhi kepentingan pribadinya.
Seorang alim pernah mengatakan bahwa, “kemiskinan mendekatkan seseorang pada kemusyrikan, sedangkan kekuasaan mendekatkan seseorang pada ketamakan dan kelalaian.”
Hari
demi hari ia lalui, bulan demi bulan ia lewati, namun ia tak kunjung menemukan
pekerjaan yang sesuai dengan hati nuraninya. Ia masih terus mencari pekerjaan
tetap dengan menggenggam erat-erat idealismenya. Adapun untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, ia mendapatkan honor sebagai pemateri di beberapa kajian
keilmuan, kadangkala juga dari hasil mengirimkan karya di media cetak. Meskipun
begitu, tidak dapat dipungkiri ia masih terlibat aktif dalam berbagai gerakan
advokasi kaum buruh.
Hingga
pada tanggal 1 Mei 2019 kemarin, ia masih terlibat dalam aksi May Day sebagai koordinator lapangan
sekaligus menjadi seorang orator. Pada hari itu pula peristiwa itu terjadi.
Timah panas berhasil menembus jantungnya, seketika ia pun tersungkur dan
tergeletak tak berdaya di hadapan ribuan buruh yang tumpah ruah memadati
jalanan. Ketika tim medis tiba di lokasi, nyawanya sudah tidak terselamatkan
lagi. Ragil tewas dalam aksi tersebut. Salah seorang demonstran menuturkan
bahwa, sempat terdengar lirih suara yang keluar dari mulut Ragil. Dan, siapa
sangka itu menjadi pesan terakhir sebelum detik waktu berhenti dari hidupnya.
Ia berkata: kita harus merdeka!
-- Sholikhin Mubarok --
Post a Comment for "Hikayat Seorang Demonstran"