Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Petuah Pak Kiai





PETUAH PAK KIAI



Sebagian besar masyarakat pedesaan di wilayah pulau Jawa sudah terbiasa menjalani kehidupan sehari-harinya dengan melestarikan apa yang menjadi tradisi atau adat istiadat warisan leluhur mereka. Jenis dan bentuk tradisinya pun beragam, namun yang paling banyak dan paling mudah ditemui adalah tradisi selamatan atau tasyakuran.


Dalam tradisi selamatan biasanya tuan rumah menghadirkan seseorang yang dianggap alim dan disepuhkan di daerah tersebut guna memimpin jalannya acara, yaitu tahlilan. Sekaligus memberikan sepatah dua patah kata sebagai nasihat untuk para tamu undangan.

Kebetulan pada saat itu salah seorang warga di Desa P sedang mengadakan acara selamatan dan mengundang kurang lebih 200 orang. Bukan orang desa namanya kalau tidak beragam karakternya, baik perilakunya maupun pengetahuannya. 

Orang desa itu heterogen; majemuk. Ada yang mudah diajak komunikasi dan ada yang sukar diajak berkomunikasi. Ada yang mudah mencerna apa yang mereka dengar dan ada yang kesulitan mencerna apa yang mereka dengar. Oleh sebab itu, seringkali terjadi kesalahpahaman di antara mereka.

Dalam acara tersebut Pak Anung selaku tuan rumah mengundang orang alim, tokoh masyarakat, atau katakanlah Kiai Kampung untuk memberikan wejangan-wejangan kepada para tamu undangan. Seperti biasa, sebelum menguntai wejangannya, Pak Kiai selalu mengawali pidatonya dengan mengucapkan salam dan memberikan penghormatan kepada para sesepuh setempat.

Salah satu penggalan pidatonya kira-kira demikian:

“Jadi, bapak-bapak sekalian, orang yang beruntung itu adalah orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Maka, sepulang dari sini nanti bapak-bapak sekalian harus bisa meninggalkan yang tidak baik dan membawa pulang yang baik, nggeh.”

Bagi sebagian besar orang yang sedikit banyak pernah mengenyam bangku pendidikan, tentu mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh Pak Kiai dalam kalimat penutup pidatonya tersebut.

Tetapi tidak demikian dengan Pak Kasep yang sejak kecil tidak pernah menerima sedikit pun pelajaran di bangku sekolahan. Ia tidak begitu mengerti Bahasa Indonesia dan dia memang terkenal kuper di lingkungan tempat tinggalnya. Seringkali ia salah paham saat menangkap omongan orang yang menggunakan bahasa Indonesia. Maklum, orang tua.

Saat itu, Pak Kasep justru salah paham dengan apa yang disampaikan oleh Pak Kiai. Ia mengira bahwa yang dimaksud dengan meninggalkan yang tidak baik itu adalah meninggalkan benda-benda usang miliknya. Yakni, sandal jepit buntut yang dikenakannya saat menghadiri acara tersebut.

Setelah acara selesai dan tuan rumah mempersilahkan tamu undangan untuk beranjak pulang, hadirin pun langsung berhamburan keluar ruangan. Tak terkecuali Pak Kasep, yang sejak awal memang duduk tidak jauh dari pintu keluar. 

Sesampainya di depan pintu Pak Kasep teringat wejangan dari Pak Kiai tadi, yakni membawa pulang hal-hal yang baik. Akhirnya, dia memutuskan mengambil salah satu sandal slop kulit yang ada di hadapannya untuk dibawa pulang dan meninggalkan sandal jepitnya yang astaga... sangat lusuh dan usang.

Sesaat, setelah dia sampai di rumah, putranya bingung melihat ada sepasang sandal slop kulit yang ada di depan pintu rumahnya. Dilihat dari bentuk dan bahannya saja dapat diketahui bahwa itu bukan sandal slop murahan, mungkin harganya berkisar ratusan ribu. Kemudian, ia bertanya kepada bapaknya terkait status kepemilikan sandal tersebut.

Bapaknya menjelaskan bahwa tadi sewaktu di acara selamatan, Pak Kiai menjelaskan bahwa sepulang dari acara selamatan ini kita disuruh membawa pulang hal-hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik. Dan, itu sudah dia laksanakan dengan membawa pulang sandal slop kulit itu, karena sandal itu dia anggap lebih baik dan bagus daripada sandal jepit usang miliknya.

Mendengar penjelasan dari Bapaknya, si anak langsung memungut sandal slop itu dan memukulkan ke dahinya sendiri sebanyak tiga kalI; plak... plak... plak. Kemudian, beranjak pergi meninggalkan Bapaknya dengan manyun.

AE, 10 Agustus 2020

Post a Comment for "Petuah Pak Kiai"