Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kritik dan Musabab Keberadaannya





Di dalam sebuah negara yang berdaulat kita mengenal apa yang disebut sebagai organisasi pemerintahan atau dalam istilah lain disebut kekuasaan negara. Kekuasaan negara dipegang oleh orang-orang terpilih yang dipilih dari warga negara pada negara tersebut. Dalam konteks ini adalah pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena roda pemerintahan dijalankan oleh orang-perorangan, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam keberlangsungannya banyak ditemui kesalahan dan kealpaan di dalamnya. Tetapi di samping adanya kesalahan dan kealpaan yang tanpa disengaja tersebut, di satu sisi banyak ditemui adanya perbuatan tidak benar yang pada dasarnya dilakukan dengan sadar dan sengaja. Misalnya, perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau akrab disebut KKN. Di mana perbuatan tersebut adalah perbuatan yang dilakukan dengan sadar, bahkan terorganisir dengan baik. 
Perbuatan-perbuatan sebagaimana disebutkan di atas dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal “Kerah Putih.” Yakni kejahatan yang mayoritas dilakukan oleh oknum-oknum yang mimiliki jabatan, sekaligus termasuk kejahatan yang dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam hukum pidana khusus (pidsus). 

Namun, seperti dikatakan sebelumnya bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang dilakukan secara terorganisir dengan baik. Sehingga tidak mengherankan jika dalam proses penangkapan para tersangkanya pun juga cukup sulit dan memerlukan kejelian dalam mengumpulkan bukti dan saksi.
Jika dicermati kembali, sebelum suatu tindakan ditetapkan sebagai tindakan KKN, tentu ada beberapa rentetan tindakan mencurigakan dari seorang tersangka yang melatar-belakanginya dan sebenarnya dapat dibaca arah geraknya. Misalnya, melambatnya kinerja pemerintah dan program kerja yang sering terbengkalai, mulai ditemukannya beberapa kecurangan dalam pelayanan publik, mulai tidak tepat sasaran dalam pengalokasian anggaran negara, mulai tidak transparan perihal nominal anggaran, mulai tidak konsisten dalam mengeluarkan kebijakan, dan beberapa contoh tindakan mencurigakan lainnya. 
Dalam ihwal ini para pengamat politik, pengamat pemerintahan, dan golongan akademisi yang secara intens mempelajari mengenai tata kelola negara atau sistem pemerintahan sangat dibutuhkan perannya. Pasalnya, mereka memang orang-orang yang expert dalam bidang tersebut. Mereka adalah sekelompok orang yang secara materi kenegaraan bisa dikatakan cukup menguasai, meskipun dalam beberapa praktik lapangan mungkin minim jam terbang. Sebab peran mereka memang bukan untuk itu. 

Peran para ahli adalah mengamati jalannya roda pemerintahan: keluar dari lintasan atau tidak. Kemudian memberikan kritik, saran dan masukan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang mulai tidak pada rule-nya, yakni untuk kepentingan rakyat. Sejalan dengan pendapat Abraham Lincoln tentang tujuan dibentuknya negara demokrasi, yaitu suatu sistem yang dirancang dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, kalangan pemikir, pengamat, dan akademisi yang memberikan kritik dan saran serta masukan kepada pemerintah atau para mahasiswa yang menyuarakan pendapatnya justru dianggap sebagai kaum oposisi dan cenderung mengganggu mobilitas pemerintahan; atau mungkin maksudnya (mengganggu kenyamanan dalam ber-KKN). Tak jarang di antara mereka mendapatkan perlakuan represif dan teror dari oknum tidak dikenal yang bertujuan untuk membuat mereka jera bahkan terlibat dalam kasus hukum. 

Tidak jarang kritik dan masukan hanya dianggap sebagai angin lalu alias diabaikan begitu saja dengan dalih mereka hanya bisa memberikan kritik tanpa ada tindakan. Menurut pendapat saya pendapat seperti ini adalah pendapat yang jahil. Dikatakan pengamat tugasnya memang mengamati kinerja daripada pemerintah, kemudian memberikan suaranya sebagai masukan atas hal-hal yang dirasa kurang tepat dan perlu diperbaiki, bukan terlibat di dalam pemerintahan. Jika mereka ikut serta mengambil andil dalam pemerintahan, ─mungkin mereka tidak lagi mampu mengamati kinerja pemerintah, sebab dirinya sendiri sudah bersimbah di dalammnya dan menjadi obyek pengamatan. Dan, bukankah sejauh ini tidak ada pengamat sepak bola yang ikut turun ke lapangan sepak bola atau pengamat astronomi yang turut serta menjadi astronot, mungkin hanya sesekali dan tidak selalu.
Sampai di sini, sedikit banyak kita sudah dapat menarik benang merah atas pertanyaan kenapa harus ada kritik? Kenapa penguasa perlu diberikan kritik dan masukan? Kenapa seorang pengamat tidak harus turun langsung ke lapangan? Kenapa kritik juga perlu dilayangkan, seperti halnya Layang Kangennya alm.  Lord Didi Kempot?

“Layangmu seng tak tompo wingi kuwi. Wes tak woco opo karepe atimu....” 

Andai saja ketika mendapat kritik pemerintah bisa rileks dan seketita berdendang bahkan berjoget seperti halnya para Sobat Ambyar. O, alangkah trenyuh ati iki. 

Sampai kapan pun kritik harus tetap ada sebagai salah satu ikhtiar untuk melanggengkan budaya checks and balances terhadap kinerja pemerintah. Jika lembaga eksekutif diawasi oleh lembaga legislatif, dan lembaga legislatif diawasi oleh lembaga yudikatif, maka tidak ada salahnya jika rakyat selaku kedaulatan tertinggi negara ikut andil mengawasi ketiga trias politica tersebut. Bukankah itu sangat uwuwu sekali?

Sebagaimana kita ketahui bahwa yang sedang duduk di kursi kekuasaan itu adalah sesama manusia yang sudah pasti tidak luput dari perbuatan alpa. Anggap saja kritik ini sebagai pengingat; yang datangnya bisa dari siapa saja, tidak melulu dari orang dewasa, bisa dari anak muda, bahkan anak kecil pun bisa mengingatkan diri kita. Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Harun ar-Rasyid juga pernah diingatkan oleh rakyatnya, Imam as-Syafi’i pernah dinasihati oleh seorang anak kecil, bahkan seorang tokoh sufi sekaliber Abu Yazid al-Busthamy pun pernah ditegur oleh seekor anjing. 

Persoalan kritik kepada pemerintah sebenarnya bukan perkara baru atau tabu. Meskipun kita tidak dapat membantah, bahwa dalam situasi tertentu kita sendiri terkadang menolak keras terhadap kritik yang ditujukan kepada diri kita. Adapun menjadi sebuah tindakan yang tabu adalah ketika pemerintah mendapat sebuah kritikan lalu bertindak represif terhadap pemberi kritik.


AE, 25 Agustus 2020.

Post a Comment for "Kritik dan Musabab Keberadaannya"