Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pentingnya Keselarasan dalam Frekuensi Berpikir


Mbah Tedjo : “Gus, kamu kan sudah sekolah tinggi dan banyak pengalaman to? Simbah mau tanya sebenarnya bedanya Corona sama Covid-19 kuwi opo to Gus?”

Agus : “Ngene lo, Mbah. Menurut perspektif para virolog, Corona itu nama virusnya dan Covid-19 itu jenis virus Corona yang muncul di tahun 2019 ini.”

Mbah Tedjo : “Lha seng kok maksud perspektif iku opo to Gus? Terus virolog iku yo opo?”

Agus : “Perspektif itu artinya pendapat, Mbah. Lha virolog itu orang yang meneliti jenis-jenis virus.”

Mbah Tedjo manggut-manggut seolah-olah sudah paham.


***


Dialog antara Mbah Tedjo dan Agus di atas adalah ilustrasi kecil dari peristiwa sehari-hari yang sering kita jumpai. Di mana sebuah penjelasan yang seharusnya bisa dengan singkat dijelaskan, tanpa menghadirkan pertanyaan tambahan. Tapi seringkali gagal untuk disampaikan dengan mudah kepada orang lain, terlebih kepada orang desa yang berpikir sederhana dan jauh dari bahasa modern.

Seringkali saya mendapat pertanyaan dari orang-orang desa mengenai suatu topik tertentu yang sedang hangat dibicarakan di media televisi (media paling akrab dengan keseharian orang pedesaan). Media yang paling gemar memberitakan perkara secara random dan merangsang pikiran para pemirsanya, yang justru sering menimbulkan kegaduhan bukan pencerahan. Jika diambil polling mungkin 70% penikmat tayangan televisi adalah orang desa, sebab hanya itu media informasi yang paling mudah dijangkau mereka.

Meskipun terkadang pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan terkesan sepele, namun karena saya terbiasa berdialog dengan orang-orang se-frekuensi berpikir, yakni teman-teman di kampus dan anak-anak muda sepantaran. Menjawab pertanyaan mereka terkadang terasa lebih sulit dilakukan karena harus menempatkan kosa kata yang pas untuk diucapkan agar mudah dimengerti.

Di hadapan mereka saya tidak bisa menggunakan bahasa-bahasa akademis, modern, atau bahkan filosofis. Mungkin untuk orang-orang tertentu saja. Bahasa-bahasa tersebut tidak berlaku untuk sebagian besar orang pedesaan.

Saya harus sering-sering belajar tentang bagaimana berdiskusi dengan mereka tanpa menggunakan bahasa kiasan, tanpa menggunakan bahasa ilmiah dan tanpa menggunakan bahasa orang-orang modern. Bagaimana saya sesekali harus menyelaraskan frekuensi berpikir dengan mereka; naik, turun, stabil, dan ngegas, supaya apa yang saya sampaikan bisa dimengerti sebagaimana mestinya, tanpa ada pertanyaan tambahan yang kian membingungkan.

Menyelaraskan frekuensi berpikir dengan siapa kita berbicara adalah suatu hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, agar tidak ada kesalahpahaman. Kedua, untuk menghindari orang yang kita ajak bicara hanya berkata “iya-iya” saja, tapi tidak paham apa yang kita bicarakan.

Seringkali karena tidak adanya keselarasan dalam frekuensi berpikir terjadi kesalahpahaman antara saya dengan kawan. Apa yang saya niatkan untuk becanda, ternyata ditanggapi serius oleh kawan saya. 

Misalnya, saya bertemu dengan kawan perempuan sebagai kaum yang rawan untuk diajak bicara soal berat badan. Niat kita adalah becanda dengan mengatakan: “Wah, kamu agak kurusan ya, pasti lagi menjalani program diet?” lalu teman saya menjawab: “Gak usah ngledek, bilang saja aku gemukan!” Lah, padahal niat saya kan hanya becanda, karena saat itu saya benar-benar melihat dia agak kurusan. Tapi, namanya membicarkaan perkara yang rentan memancing sensitifitas mereka, akhirnya mereka menanggapi dengan serius.

Atau kita yang suka becanda, malah kadang tidak pernah dianggap serius kalau berbicara. Kalau hanya dalam konteks pembicaraan ringan mungkin tidak masalah sih, tapi kalau pembasahannya rada serius, gimana?

Misalnya, saya berkata: “Sebenarnya, aku sudah lama suka kamu. Bagaimana menurutmu?” tapi dia malah menganggap itu candaan, dan menjawab: “Ya gpp, kan sekadar menyukai. Paling juga gak berani ngasih komentar. Hahaha.” Niatnya ngomong serius, mendengar jawabannya hatiku jadi ambyar.

***

Rasulullah SAW., itu manusia langit, bahkan beliau tahu seisi langit. Tapi, saat berbicara dengan para sahabatnya, jarang bahkan tidak pernah menggunakan bahasa-bahasa langit. Bahasa beliau selalu membumi, berjiwa langit tapi tetap menapak di bumi. 

Beliau tidak ingin orang yang diajak bicara hanya menganggut-anggut seolah paham, tapi senyatanya tidak memahami sama sekali apa yang beliau sampaikan. Dengan kata lain, meskipun beliau adalah guru dari para sahabatnya, namun beliau tak ingin terkesan menggurui.

Hal itu sering berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, di mana banyak orang pintar baik itu lulusan univerisitas maupun jebolan pesantren, kalau sudah berbicara, hmmmm, rasanya seperti mendengar seminar akademik atau ngaji kitab kuning saja. Kenapa sih gak bisa biasa aja, pakai bahasa manusia gitu maksudnya?

Orang sekarang (termasuk saya, mungkin?) senang banget berbicara apa yang kebanyakan orang tidak tahu. Sehingga dalam satu tempat duduk, seolah-olah kita adalah orang yang serba tahu. Kita seolah-olah puas ketika melihat orang lain hanya menganggut-anggut mendengar omongan kita, padahal belum tentu dia mendengarkan omongan kita. Bisa jadi dia menahan muntah, bukan?

Ada sebuah kisah tentang dua orang alim, yang satu suka bergaul dengan orang bodoh dan yang satu suka bergaul dengan sesama orang alim. Alasan orang alim yang bergaul dengan orang bodoh adalah agar dia bisa berbagi ilmu kepada mereka. Sedangkan alasan orang alim yang suka bergaul dengan sesama orang alim adalah agar dia terhindar dari sifat takabur dalam dirinya. Karena bergaul dengan sesama orang alim akan menekan rasa takaburnya untuk merasa paling pintar sendiri di antara teman bergaulnya.

Kesetaraan frekuensi berpikir menjadi penting dalam sebuah pembicaraan, sebab apa yang kita bicarakan dengan siapa kita bicara akan mempengaruhi feedback apa yang akan kita terima. 

Mungkin dengan rekan sejawat kita bisa berbicara cas-cis-cus dengan bahasa bebas tanpa masalah, karena sudah sama-sama paham. Tapi, kalau berbicara dengan orang yang usianya jauh di atas kita atau jauh di bawah kita, jangan sampai menggunakan bahasa penuh metaforis, kalau tak ingin seperti kisah Mbah Tedjo dan Agus di atas. He-he...


AE, 25 Agustus 2020.

1 comment for "Pentingnya Keselarasan dalam Frekuensi Berpikir "