Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gus Baha: Role Model Dakwah di Era Milenial

KH. Baha’uddin Nursalim lahir pada tanggal 15 Maret 1977 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Kyai Muda yang akrab dipanggil Gus Baha ini adalah putra dari seorang ulama’ pakar Qur’an, yaitu KH. Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kec. Kragan, Kab. Rembang, Jawa Tengah. Pada umur yang terbilang masih sangat belia, Gus Baha’ sukses mengkhatamkan hafalan al-Qur’an beserta Qiro’ahnya bersama lisensi yang ketat dari ayahnya. Gemblengan keilmuan yang ayah beliau terapkan memanglah sesuai dengan apa yang diharapkan, laiaknya karakteristik murid-murid Mbah Arwani Kudus yang menerapkan keketatan di dalam tajwid dan makhorijul huruf terhadap setiap huruf al-Qur’an.


KH. Baha’uddin Nursalim lahir pada tanggal 15 Maret 1977 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Kyai Muda yang akrab dipanggil Gus Baha ini adalah putra dari seorang ulama’ pakar Qur’an, yaitu KH. Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kec. Kragan, Kab. Rembang, Jawa Tengah. Pada umur yang terbilang masih sangat belia, Gus Baha’ sukses mengkhatamkan hafalan al-Qur’an beserta Qiro’ahnya bersama lisensi yang ketat dari ayahnya. Gemblengan keilmuan yang ayah beliau terapkan memanglah sesuai dengan apa yang diharapkan, laiaknya karakteristik murid-murid Mbah Arwani Kudus yang menerapkan keketatan di dalam tajwid dan makhorijul huruf terhadap setiap huruf al-Qur’an.


Riwayat pendidikan beliau hanya mengenyam pendidikan dari dua pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan PP. Al Anwar Karangmangu, Rembang yang diasuh oleh ulama karismatik, KH. Maimoen Zubair. Pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada beliau untuk mondok di Rushoifah atau Yaman. Namun beliau lebih menentukan untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah PP. Al Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

Di Al Anwar inilah beliau muncul dengan sangat menonjol di dalam pakem-pakem pengetahuan Syari’at, seperti Fiqih, Hadits dan Tafsir.  Di sana beliau juga mengemban amanah sebagai Rois Fathul Mu’in dan Ketua Ma’arif di dalam jajaran kepengurusan PP. Al Anwar. Saat mondok di Al Anwar ini pula beliau mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim lengkap bersama matan, rowi dan sanadnya. Selain Shohih Muslim beliau termasuk mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Mu’in dan kitab-kitab gramatika arab laiknya ‘Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik.

Adapun cuplikan kajian-kajian beliau dapat dengan mudah ditemui di berbagai kanal youtube, instagram, maupun facebook. Namun dalam kesempatan kali ini saya tidak hendak membahas mengenai hal itu, tetapi akan lebih berfokus pada bagaimana beliau menjadi “role model” dalam berdakwah di tengah-tengah generasi milenial seperti saat ini.

Sekilas mata mungkin kita tidak menemukan perbedaan yang menonjol antara metode berdakwah Gus Baha dengan para pendakwah lainnya. Namun jika kita amati dengan lebih cermat lagi, kita akan menemukan sebuah sikap konsistensi gaya berdakwah Gus Baha yang berbeda dengan para pendakwah pada umumnya, baik itu Ustadz, Kyai, ataupun selebriti yang mendadak menjadi juru dakwah. Yang menjadi pembedanya bukan kritikan, guyonan, atau sindiran yang kerap Gus Baha selipkan di dalam setiap kajian beliau, karena saya rasa kalau sekedar demikian sudah banyak di luar sana para pendakwah yang menerapkannya, bahkan jauh lebih keras.

Namun demikian, mari kita lihat dalam setiap ceramah beliau. Hampir dapat dipastikan saat beliau ceramah, entah itu ngaji rutinan, maupun ketika menghadiri suatu undangan, beliau selalu membawa sebuah kitab sebagai dasar rujukan beliau dalam menyampaikan ceramah. Banyaknya kutipan yang bersumber dari berbagai kitab yang sering beliau sebutkan dalam setiap sesi ngaji menjadi bukti bahwa beliau adalah seorang Kyai yang memiliki daya baca yang kuat serta benar-benar menjaga setiap argumentasi yang beliau sampaikan. Maksdunya, dalam setiap berpendapat beliau selalu mempunyai dasar rujukan yang kuat, yakni dari kitab-kitab yang beliau baca dan pahami, sekecil apa pun kitab itu. Bukan serta merta menyampaikan materi berdasarkan pendapat beliau secara sepihak.

Hal tersebutlah yang menjadikan setiap argumentasi dari beliau terasa amat kuat dan mudah diterima oleh berbagai kalangan; tidak harus dari kalangan pesantren, orang awam pun akan merasa sejuk ketika mendengar ceramah dari Gus Baha.

Karakteristik ceramah Gus Baha yang begitu ringan namun bijak dalam menyampaikan sebuah ilmu kepada khalayak umum, menjadi bukti betapa cermat dan telitinya beliau dalam membaca, memahami dan menyampaikan setiap isi kandungan daripada sebuah kitab, serta menjadi bukti kedalam ilmu beliau.

Di era modern seperti saat ini, dengan mudah kita dapat menemukan model-model penceramah-penceramah yang “asal bisa ceramah saja.” Berbekal materi yang ia pelajari dari channel youtube dan article google, kemudian dengan lantang tanpa keraguan ia sampaikan kepada khalayak umum. Meskipun kadangkala mereka juga membawa sebuah kitab hasil terjemahan, namun karena tidak dibekali oleh pemahaman yang matang, hasilnya mereka sering salah kutip hadits, maqolla, bahkan salah dalam menafsirkan sebuah ayat. Parah gaes!

Di sisi lain, Gus Baha juga merupakan salah satu Kyai muda yang membawa “role model” atau teladan dalam berdakwah. Di saat mayoritas penceramah berdakwah hanya dengan menyampaikan materi berdasarkan apa yang dihafal dan diingat; Gus Baha mencoba menyajikan sebuah ilmu yang argumentatif dengan selalu merujuk pada kitab, hadits, dan tafsir ayat Al Quran, sehingga dalam setiap berargumen beliau selalu menautkan argumennya pada pemikiran tokoh-tokoh besar.

Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud memuji-muji sosok Gus Baha, meskipun beliau sangat layak untuk dipuji, dan saya juga tidak bermaksud memberikan satire terhadap model dakwah yang selama ini ada dan berkembang di masyarakat, apalagi mengkritisi para ulama-ulama. Tentu saja tidak! Secara keilmuan saya masih sangat jauh dibandingkan dengan beliau semua. Tulisan ini hanya sekedar menyampaikan apa yang menjadi fenomena pada generasi bangsa saat ini, tak terkecuali saya.

Perlu kita pahami bersama bahwa, semakin hari generasi bangsa ini semakin modern; baik modern dalam bersikap maupun modern dalam berpikir. Artinya, lambat laun mereka tidak bisa menerima sebuah keterangan atau pengetahuan dengan serta-merta begitu saja tanpa dasar yang jelas, mereka akan semakin kritis terhadap apa yang mereka terima, termasuk dalam menerima materi ceramah. Hal itu tidak bisa kita pungkiri, sebab zaman-lah yang telah menggeser itu semua.

Bagi orang-orang pemikir dan kritis, menerima sebuah materi tanpa dasar argumentasi yang kuat mungkin menjadi suatu hal yang sulit diterima akal. Sebab bagaimana mungkin seseorang meyakini bahwa materi itu benar atau salah, baik atau buruk, jika seorang penceramah tidak pernah menyebutkan darimana ia mendapat keterangan tersebut???

Jika zaman ibu-bapak kita muda dahulu yang menjadi hambatan adalah kejahilan dan keterbatasan, maka saat ini yang menjadi musuh adalah kemalasan dan pergeseran life style generasi muda. Dari tradisionalisme menjadi westernisme atau eropanisme. Zaman sekarang sudah banyak anak-anak yang kepintarannya melebihi orang tuanya. Media berkembang sebegitu pesat dan cepat, sehingga belajar tidak melulu di sekolah, dari rumah, dari lapangan, dari warung kopi, bahkan dari kamar mandi pun anak-anak bisa dengan mudah menemukan hal-hal baru.

Gus Baha dalam ceramah beliau pada peringatan 100 hari wafatnya KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) pernah menyampaikan tentang keresahannya terhadap kondisi para santri saat ini. Beliau ngendika bahwa, kelemahan santri saat ini adalah kebanyakan dari mereka tidak mampu menyampaikan sebuah ilmu secara al-bayyinah (argumentatif), sedangkan untuk meyakinkan seseorang kita harus memiliki argumentasi yang kuat sebagaimana diajarkan oleh Rasullullah SAW.

“Bagaimana bisa kita meyakinkan orang lain jika kita sendiri tidak mampu menjelaskan tentang apa yang kita yakini???”

Tradisi argumentatif itulah yang dalam setiap ceramah Gus Baha selalu dicontohkan dengan menyertakan dalil rujukan, yakni dengan membawa kitab rujukan. Seolah-olah beliau tidak berkenan menyampaikan suatu ilmu hanya berdasarkan kata ini, kata itu, kata fulan, atau menurut saya pribadi. Meskipun beliau juga sering menyinggung bahwa dalam beberapa persoalan, kita memang diperbolehkan untuk menjawab suatu pertanyaan dengan menggunakan jawaban dari cangkem-cangkem elek, alias asal jawab dengan dalil penalaran manusia.

Misalnya pertanyaan: “Apa dasarnya habis sholat harus salaman?” 

Nah, pertanyaan seperti itu menurut Gus Baha diperbolehkan dijawab dengan menggunakan cangkem-cangkem elek.

Misal dijawab seperti ini:

“Kalau sampean bertanya demikian, saya juga mau tanya, apa dasar habis sholat buka HP, atau habis sholat langsung ke kamar mandi?”


EPILOGNYA

Gus baha bagai oase di tengah masyarakat perkotaan, membongkar kebiasaan-kebiasaan lama, dan membenahi cara berpikir yang sudah umum kita temui di dalam masyarakat. Tak banyak kita jumpai ulama muda yang memiliki pemahaman akademis laiknya para profesor yang bersih rambutnya. Memang benar jika ada pernyataan bahwa, seorang ulama yang menguasai keilmuan agama dengan matang akan dengan mudah memberikan pemahaman kepada umat.

“Ini penting saya utarakan, Allah itu maha baik, tidak pemarah. Oleh karena itu kamu jangan takut kalo kamu salah Allah langsung memasukkanmu ke dalam neraka. Selama kamu masih ingat untuk bertaubat, saya yakin Allah Maha Pengampun.” 

Kira-kira demikian sepenggal petuah yang sering Gus Baha utarakan dan penting untuk saya dengarkan.


AE, 18 JULI 2020

Post a Comment for "Gus Baha: Role Model Dakwah di Era Milenial"