Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puncak dari Pengetahuan Adalah Pengamalan



Kalian pasti pernah menjadi anggota baru dalam sebuah komunitas atau menjadi orang baru dalam sebuah lingkungan, bukan? Bisa komunitas bermain maupun komunitas belajar, bisa lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan tempat kerja. Dan, pada saat kalian pertama kali masuk lingkungan baru tersebut rata-rata di antara kalian mengalami masa orientasi atau perkenalan.

Dalam sesi perkenalan, setiap kali ditanya apa tujuanmu masuk ke sini? Pasti di antara teman kalian atau bahkan kalian sendiri ada yang menjawab: “saya ingin menambah pengetahuan saya” atau “saya ingin menambah ilmu saya” atau “saya ingin belajar” dan/atau jawaban “saya ingin....” yang lainnya. Kita hampir lupa bahwa, setelah kalimat saya ingin ini, itu, begini, begitu, ada tanggung jawab bahwa saya harus mengerjakan ini dan itu, begini dan begitu.

Bukankah tujuan manusia mempelajari tentang rumus-rumus arsitektur sebab ia ingin menjadi seorang arsitek?

Sama halnya dengan beberapa pertanyaan yang kerap diajukan kepada orang-orang yang berjenis kutu buku. Ketika ditanya apa tujuan mereka membaca banyak buku? Apa tujuan mereka mengkhatamkan buku dalam satu malam, seperti tidak ada hari lain saja? dan apa tujuan mereka membeli buku setiap seminggu sekali? Mayoritas dari mereka akan menjawab supaya mengetahui apa yang sebenarnya penulis ingin sampaikan dalam karyanya.

Dan, setelah mereka tahu apa maksud dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis, maka output-nya adalah mereka harus mau mengamalkannya, tentunya dengan kadar kemampuan masing-masing.

Itulah sebabnya asupan bacaan yang dikonsumsi oleh seseorang akan berpengaruh terhadap kondisi psikis dalam diri seseorang dan kemungkinan juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang. 

Kalau orang suka baca bukunya Pramodya Ananta Toer, Tan Malaka, Sultan Syahrir, Ali Syariati, pastilah mereka adalah orang-orang yang akan melibatkan diri ke dalam dunia pergerakan. Begitu pun dengan para pembaca novel, puisi, dan cerpen, biasanya mereka akan cenderung aktif dalam dunia literasi sastra populer.

Tetapi, apakah kita hanya berhenti pada pengetahuan, pada pengertian, pada pemahaman itu saja? Saya rasa seharusnya tidak demikian. Pada dasarnya kita sedang berjalan menuju titik tertentu yang ingin kita capai. Oleh sebab itu kita mencari jalan, kita mencari rute yang paling cocok untuk kita lalui. Caranya dengan belajar, dengan membaca, dengan berdialog, dsb. Pengetahuan adalah rute tersebut. Pengetahuan menjadikan manusia berilmu dan output-nya adalah pelaksanaan atau pengamalan.

Saya sering menanyai diri saya sendiri tentang apa yang saya harapkan ketika saya selesai membaca sebuah buku. Apa tindak lanjut saya setelah membaca buku ini? Apakah hanya sebagai bahan pembicaraan ketika saya berkumpul dengan kawan saya, bahwa saya telah menyelesaikan buku ini, itu, dan lainnya? Saya rasa bukan itu puncak dari perjalanan membaca.

Mempelajari terlebih dahulu baru meyakini atau meyakini lebih dulu baru mempelajari. Dua hal itu sering bertukar posisi. Begitu jua “iman, ilmu, amal” atau “ilmu, iman, amal?” keduanya juga sama-sama pernah terjadi. 

Ada orang yang langsung yakin dengan agama Islam baru kemudian mendalami ajarannya, seperti yang terjadi di zaman nabi. Sebab, saat itu umat memiliki satu tokoh utama yang tidak ada perbandingannya, yakni Rasulullah. Begitu pun ada orang yang mempelajari tentang Islam secara mendalam terlebih dahulu baru kemudian meyakini kebenarannya, seperti yang sering terjadi saat ini. Dimana masyarakat semakin kritis dalam berpikir dan banyak figur yang bermunculan, sehingga tidak ada satu sosok utama yang dapat dijadikan panutan bagi seluruh umat manusia. Meskipun dua hal di atas sering bertukar posisi, namun puncaknya tetap pada amal (pelaksanaan).

Percuma mendalami tentang ketauhidan dalam Islam, jika tidak diikuti dengan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya. Rasul saja yang sudah pasti masuk surga masih harus salat hingga tumitnya bengkak? Masak kita yang belum jelas tidak mau mencontoh beliau? Konsekwensi orang yang tahu adalah berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sekarang ini banyak orang-orang yang paham tentang konsep ketuhanan masing-masing agama, namun tidak diikuti dengan pengamalan yang sungguh-sungguh. Kalau mereka tunduk dan patuh, pastinya tidak ada istilah koruptor. Tidak ada istilah suap. Tidak ada istilah kolusi dan nepotisme. Semua perbuatan itu ada karena mereka tidak mau tunduk dan patuh dengan apa yang mereka ketahui dan pahami. Manusia memang seringkali ingkar dengan nuraninya.

Saya juga sering membandingkan tentang perjalanan tokoh-tokoh muslim dunia, seperti Imam Malik, Imam as Syafii, Imam Muhammad al Ghazali, dan lainnya. Mereka semua harus menempuh jalur fikih atau jalur syariat secara mendalam terlebih dahulu, sebalum akhirnya benar-benar masuk ke dalam ranah tasawuf atau makrifat. Mereka menguatkan pondasi akidah mereka terlebih dahulu baru kemudian membangun ruang kesunyian yang mendalam. 

Berbeda dengan apa yang dialami oleh Rasulullah SAW, yang mana beliau adalah manusia pilihan. Beliau menempuh jalur makrifat terlebih dahulu, yakni jalur kesunyian, sebelum akhirnya menyampaikan syariat-syariat Islam secara luas. Beliau harus bertahannuts selama sebulan di Gua Hira baru kemudian turun ayat pertama,: iqra’. Beliau membangun pondasi tasawufnya terlebih dahulu, baru kemudian mengajarkan pedoman-pedoman hidup umat beragama yang kemudian kita kenal sebagai syariat Islam. Islam adalah tunduk dan patuh.


Madiun, 20 November 2020

Post a Comment for "Puncak dari Pengetahuan Adalah Pengamalan"