Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Wabah dan Wadah





Kala...
kala segulung angan-angan telah
menjadikan kita terus merasa ingin
: ingin ini, ingin itu, dan 
inginkan semua menjadi milik(ku).

Kala cita-cita menjadikan kita
melupakan estetika cinta
: cinta sesama, cinta semesta,
dan cinta Tuhan semata.

Kala ambisi-ambisi duniawi semakin meluap
menjadikan akal kita membumbung tinggi
melampaui batas-batas hati, menindas nurani
menjelma nafsu penuh emosi.

Maka...
maka kemudian wabah ini datang
kita semua kembali mengungsi;
menepi dari segala cita dan cinta dunia
kembali pada cinta yang murni.

Kembali pada cinta ilahi robbi
menerka-nerka makna dari semua ini
oh gusti... ada apa dengan bumi ini
mungkinkah kami terlampau jauh
meninggalkan-MU pergi?
mungkinkah Engkau telah bosan
dengan semua tingkah kami?

Kemudian Kau utus wabah ini
untuk membangunkan kami
dari kepulasan duniawi.

Kami yang terlalu hanyut pada ambisi duniawi
kami yang mulai lupa dengan asal-muasal
dan sebab-musabab diri
: dari mana dan mau ke mana kami nanti.

Oh gusti... 
Wabah ini seolah menjadi wadah
untuk kembali mengoreksi tingkah diri
memaknai cinta yang sebenar-benarnya
meyakini-MU dengan seutuh-utuhnya.

Kami terlupa bahwa; ketika kami asyik bermimpi
ada sebagian hamba-MU yang tak tidur di malam hari
ada sebagian hamba-MU yang melangsungkan mimpi
di pesisir-pesisir kali
dan, ada sebagian hamba-MU yang perutnya
belum dimasuki nasi, meski hanya sebutir.

Oh gusti...
Kau telah meminta kami untuk kembali
pada cinta yang sejati, yang abadi, yang tersimpan rapi,
yang namanya selalu terselip dalam sajak-sajak puisi
cinta yang semurni-murninya, seutuh-utuhnya,
dan sesuci-sucinya.

Aku bersaksi, bahwa tiada Yang Maha Cinta selain Dzat Yang Maha Esa.


Madiun, 23 Maret 2020

Post a Comment for "Wabah dan Wadah"