Hilangnya Marwah Adagium "Vox Populi Vox Dei"
“Vox populi vox dei” adalah adagium
yang saat ini sudah mulai banyak kita perdengarkan sebagai bahan pidato para
calon pejabat negara. Adagium yang berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan”
itu akan menjadi materi muatan pada saat para calon berkesempatan berpidato atau
berkampanye, terutama dalam tahun politik 2019 nanti.
Beberapa isu lokal maupun nasional merupakan
salah satu komposisi yang biasa digoreng sebagai bahan orasi saat kampanye.
Sebuah upaya yang seolah menjadi citra bahwa sang calon adalah pejabat yang
benar-benar akan memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Hal yang terus akan menerus
dilakukan sampai ada pemberitahuan tentang nama-nama pemenang dalam pemilu.
Dan, mungkin setelah itu tidak ada lagi teriakan-teriakan tentang pembelaan
hak-hak rakyat, sebab hasil dari teriak-teriak saat kampanye berupa kenikmatan
atas jabatan baru telah diperolehnya. Sebuah sorga kekuasaan yang melalaikan.
Adigum diatas tak ubah hanya menjadi
jargon saat kampanye saja, namun kehilangan makna setelahnya. Sedangkan rakyat hanya
menjadi obyek yang terus menerus dibohongi setiap musim kampanye. Rakyat
sendiri terdiri dari bermacam-macam golongan, bagi rakyat berasal dari golongan
terdidik mungkin masih bisa mengolah sedikit-banyak dari setiap informasi dan
janji-janji yang dia konsumsi. Namun tidak bagi mereka yang awam, mereka akan
sangat mudah menelan setiap informasi yang diterima.
Ironis bukan? Sebuah adagium yang
seharusnya memiliki marwah yang besar namun saat ini banyak terciderai oleh
tindakan para pejabat yang semakin hari semakin terlena oleh sorgaloka
kekuasaan yang didudukinya. Bagi pejabat yang gila akan materi kekuasaan merupakan
sorganya dunia dengan kenikmatan yang berada disekeliling mereka dan kelalaian
teramat dekat didepan kening mereka. Memang seperti itulah kodrat alamiah
seorang manusia ketika berkuasa, sebagaimana dikatakan oleh Niccolo Machiavelli
bahwa sejak kelahirannya manusia itu sudah memiliki bakat alami untuk berkuasa,
tidak jujur, tidak adil, korupsi, berbohong, dan mementingkan diri sendiri. Tanpa
kesetiaan, kearifan dan kemuliaan yang ingin digapai dalam proses kepemimpinan
adalah suatu hal yang imposible.
Apabila dikaitkan dengan karakter
kepemimpinan di zaman pewayangan, kiranya sulit menemukan sosok pemimpin
seperti Prabu Puntadewa. Seorang pemimpin yang benar-benar memprioritaskan
kepentingan rakyatnya, memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Bahkan, saat tinggal
sejengkal akan memasuki sorganya bersama Batara Indra saja ia masih enggan
untuk masuk, sebab anjing yang setia menemaninya selama dalam perjalanannya
menuju kediaman Batara Indra tidak diizinkan masuk oleh Batara Indra. Kesetiaan
seekor anjing dalam menemani perjalannya tidak dapat ditukarkan hanya dengan
kenikmatan dari sorga. Peristiwa tersebut menunjukkan sebuah kesetiaan yang tergambar
dari sosok seorang majikan dan seekor anjing peliharaan.
Kesetian inilah yang saat ini menjadi
hal yang langka di era milenial saat ini. Kesetiaan yang sudah mulai tereduksi oleh
kenikmatan-kenikmatan dari sorgaloka kekuasaan. Bahkan saat ini demi kekuasaan
tak jarang seseorang rela mengorbankan sahabat, teman, bahkan saudara
sekalipun. Sebuah kondisi yang berbanding terbalik dengan kisah kesetiaan Prabu
Puntadewa dengan anjing peliaraannya.
Nilai kesetiaan
yang tergambar dalam relasi Puntadewa dan anjingnya bisa jadi bermakna simbolik
yang menyiratkan makna spiritual betapa kesetiaan menjadi sebuah “conditio
sine qua non” dalam menggapai kearifan dan kemuliaan hidup. Dengan
kata lain, tanpa sebuah kesetiaan mustahil seseorang mampu menggapai kearifan
dan kemuliaan hidup. Sepasang suami-istri, misalnya, jelas akan mengalami
sebuah kerapuhan rumah tangga apabila kesetiaan sudah ditinggalkan dalam kamus
hidupnya. Seorang pelayan yang sudah menanggalkan kesetiaan kepada sang
majikan, jelas akan sulit mewujudkan atmosfer “jumbuhing kawula-gusti” dalam tataran sosial. Dalam ranah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, rakyat yang tidak lagi setia
kepada pemimpinnya, jelas akan menumbuhkan keretakan hubungan patron-client
dalam relasi kekuasaan. Begitupun sebaliknya, kondisi yang menunjukkan
seorang pemimpin yang tidak lagi setia dengan janji-janjinya saat kampanye dan telah
keluar dari koridor berdemokrasi, di mana suara rakyat tidak lagi di gubris
oleh mereka.
Seperti kata
pepatah “ibarat mencari jarum dalam jerami”, begitu sulit menemukan kepribadian
seorang pemimpin seperti Prabu Puntadewa. Para pejabat yang digaji dengan uang
rakyat, namun justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya, yakni mereka menjadi
berkuasa atas rakyat yang menggajinya. Perbuatan yang menurut kacamata saya
selaku rakyat sebagai tindakan yang menunjukkan amoralitas. Maka, dalam sebuah
kepemimpinan selain mengedepankan sisi emosionalitas dan intelektualitas,
seorang pemimping juga harus mengedepankan aspek spiritualitas dalam proses
kepemimpinannya guna menjaga checks and balances
dalam dirinya.
Seperti dalam relasi kekuasaan yang
terjadi saat ini, spiritualitas Prabu Puntadewa agaknya sudah mulai dilupakan
dan disingkirkan. Pesona demokrasi yang diagungkan lewat jargon “vox populi
vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) hanya bergaung dalam ruang
kampanye yang mengoarkan janji-janji yang membuai harapan dan perubahan. Rakyat
diposisikan secara terhormat dan bermartabat dalam singgasana demokrasi. Namun,
ketika “sorga kekuasaan” berada dalam genggaman tangan sang penguasa, rakyat
hanya bisa meratap dan menghiba di luar pintu “sorgaloka kekuasaan”.
Kita sebagai rakyat sangat berharap
praktik kekuasaan yang diraih melalui proses demokrasi transaksional dengan
berbagai jargon yang “agung” dan “mulia” selama musim kampanye tidak melupakan spiritualitas
sebagaimana diajarkan oleh Puntadewa. Bahkan, jika memiliki “kemauan dan
kearifan politik” untuk memosisisikan rakyat sebagaimana yang dikoarkan dalam
mimbar kampanye, hal itu bisa dengan mudah dilakukan ketika sorga kekuasaan
berada dalam genggaman seoang penguasa. Sungguh ironis apabila adagium “vox populi vox dei” hanya sekadar
dijadikan slogan demokrasi untuk memburu “sorga kekuasaan” dengan mengabaikan
jutaan rakyat yang mrintih-rintih sambil menggapai-gapaikan tangannya yang
lunglai untuk bisa ikut menikmati sorgaloka.
Post a Comment for "Hilangnya Marwah Adagium "Vox Populi Vox Dei""